Skandal Tata Kelola dan Efishery : Pelajaran Berharga bagi Perusahaan Startup Indonesia

16 hours ago 3

Oleh: Ahmad Danial

Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan startup di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Banyak perusahaan startup bermunculan, membawa inovasi teknologi dan solusi untuk berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Namun, di balik kisah sukses dan gelar “unicorn”, tersembunyi tantangan besar dalam aspek tata kelola perusahaan yang kerap kali terabaikan.

Tata kelola perusahaan atau corporate governance adalah sebuah sistem, prinsip, dan proses yang digunakan oleh perusahaan untuk mengarahkan dan mengendalikan operasionalnya secara transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab. Dalam konteks startup, tata kelola menjadi semakin krusial karena sifat bisnis yang dinamis, pertumbuhan yang cepat, dan tingginya ekspektasi investor terhadap return.

Tata kelola yang baik mencakup struktur organisasi yang jelas, pengawasan internal yang kuat, keterbukaan informasi, manajemen risiko yang terintegrasi, serta kepatuhan terhadap regulasi dan etika bisnis. Tujuannya bukan hanya untuk menjaga keberlangsungan perusahaan, tetapi juga untuk membangun kepercayaan pasar dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan.

Ketika prinsip-prinsip ini diabaikan, startup berisiko mengalami penurunan reputasi, penurunan nilai perusahaan, hingga intervensi hukum yang dapat memicu penurunan kepercayaan pada perusahaan. Salah satu kasus tata Kelola yang mencuat ke permukaan dan menjadi perhatian publik adalah skandal tata kelola yang dialami oleh eFishery, sebuah startup agritech yang sebelumnya dianggap sebagai panutan dalam transformasi sektor akuakultur di Indonesia.

Efishery, startup agritech Indonesia, berhasil mengumpulkan dana besar dari investor global seperti SoftBank Vision Fund 2 dan Temasek, dengan total pendanaan mencapai sekitar USD 198 juta pada putaran Seri C dan D. Namun, perusahaan kini menghadapi skandal tata kelola serius setelah terungkap adanya manipulasi laporan keuangan oleh CEO-nya.

Dilansir dari laman thediplomat.com, mengungkapkan laporan keuangan eFishery
mengklaim telah memperoleh laba sebesar USD 16 juta dalam sembilan bulan pertama
tahun 2024. Padahal secara aktual perusahaan tersebut merugi sebesar USD 35,4 juta.
Perusahaan juga melebih-lebihkan pendapatannya, dengan mengklaim telah memperoleh
USD 750 juta padahal angka pendapatan aktual per September 2024 hanya mendekati USD 150 juta. Itu berarti selama sembilan bulan pertama tahun 2024, eFishery memperoleh sekitar USD 600 juta dalam transaksi fiktif.

Perusahaan memalsukan laporan keuangan sejak tahun 2018. Audit internal menunjukkan adanya dua set laporan keuangan: satu untuk penggunaan internal yang mencerminkan kerugian, dan satu lagi untuk pihak eksternal yang menunjukkan keuntungan palsu. Laporan palsu tersebut menutupi kerugian besar selama bertahun-tahun sehingga nilai investasi para pemegang saham utama turun drastis.

Investor seperti SoftBank dan Temasek diperkirakan hanya akan mendapatkan kembali kurang dari 10% dari modal yang mereka tanamkan. Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi perusahaan startup Indonesia tentang urgensi transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola perusahaan.

Skandal tata kelola ini mencerminkan tantangan mendasar dalam perusahaan startup yang berkembang di Indonesia maupun negara lain. Dilansir dari laman bloomberg.com, mengungkapkan bahwa lemahnya pengawasan internal serta struktur governance memungkinkan terjadinya penyimpangan serius seperti manipulasi laporan keuangan oleh CEO Efishery. Tekanan untuk pertumbuhan cepat tanpa kontrol risiko memadai dapat mendorong praktik tidak etis demi mempertahankan citra positif kepada investor.

Beberapa langkah diperlukan agar kasus serupa tidak terulang lagi di masa depan, terutama bagi perusahaan startup di Indonesia:

Pertama, Penguatan regulasi khusus bagi startup berbasis teknologi mengenai transparansi pelaporan keuangan. Regulasi dikeluarkan oleh otoritas atau lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan dalam mengatur, mengawasi, dan menegakkan hukum terkait aktivitas bisnis, keuangan, serta sektor teknologi finansial (fintech) dan startup digital di Indonesia.

Kedua, Perusahaan membentuk dewan komisaris independen sejak tahap awal sebagai mekanisme kontrol manajemen.

Ketiga, Audit eksternal rutin oleh auditor independen terpercaya guna memastikan validitas
data finansial.

Keempat, Edukasi secara konsisten tentang corporate governance bagi pemilik startup agar
memahami pentingnya integritas bisnis jangka panjang dibandingkan pertumbuhan
instan.

Kelima, Peran aktif investor besar dalam menerapkan prinsip Environmental, Social and
Governance (ESG) secara ketat termasuk monitoring pasca-investasi.

Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan perusahaan startup Indonesia tumbuh sehat
berlandaskan tata kelola kuat sekaligus mampu menarik investasi berkualitas tinggi secara
berkelanjutan.

Penulis, Ahmad Danial adalah Mahasiswa Magister (S2), UPN Veteran Jakarta.

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan