Buku Berjudul Hak Restitusi Korban Human Trafficking Terbit

6 hours ago 4

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya, insan Adhyaksa senantiasa diberi kesempatan untuk memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa, khususnya melalui penerbitan buku berjudul “Hak Restitusi Korban Human Trafficking”, yang ditulis oleh Rudy (praktisi, penulis).

Hak restitusi dalam konteks human trafficking (perdagangan orang) adalah hak korban untuk memperoleh ganti kerugian atas kerugian materiil dan immateriil yang mereka alami akibat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Restitusi ini merupakan bentuk pemulihan terhadap kondisi korban, meskipun tidak selalu mampu mengembalikan mereka pada keadaan semula sebelum menjadi korban.

Kerugian yang dimaksud dapat berupa kerugian finansial (materiil) seperti hilangnya harta benda, biaya pengobatan, serta kerugian non-finansial (immateriil) seperti trauma psikologis, kehilangan kesempatan, dan penderitaan lainnya yang timbul akibat tindak kejahatan tersebut.

Tujuan utama pemberian restitusi adalah untuk memberikan kompensasi kepada korban, membantu proses pemulihan dari dampak kejahatan, serta sebagai wujud keadilan.

Meski telah memiliki dasar hukum, implementasi restitusi dalam kasus TPPO masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain sulitnya menentukan besaran kerugian, stigma sosial terhadap korban, serta celah dalam regulasi.

Buku ini turut memperkaya perspektif dengan adanya kata sambutan dari: Prof. Dr. Asep N. Mulyana, S.H., M.Hum. (Plt. Wakil Jaksa Agung RI, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, dan Ketua Umum Persatuan Jaksa Indonesia)

Kata pengantar dari: Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc.
(Ketua Komnas HAM Republik Indonesia)
Sekapur sirih dari: Ali Mazi, SH (Anggota DPR RI 2024–2029)

Dalam kata sambutannya, Prof. Dr. Asep N. Mulyana menegaskan, meskipun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO telah menjadi landasan hukum, perdagangan orang masih terus terjadi dengan modus yang semakin beragam. TPPO bahkan telah berkembang menjadi kejahatan transnasional terorganisir (transnational organized crime).

Oleh karena itu, penanganannya membutuhkan pendekatan baru (new approach) dan langkah luar biasa (extraordinary measures), termasuk menempatkan korban sebagai subjek utama, bukan sekadar alat bukti. Pemulihan korban, termasuk melalui restitusi, harus menjadi prioritas.

Buku ini adalah wujud komitmen penulis sebagai jaksa, dalam memperjuangkan pemenuhan hak-hak korban. Jaksa memiliki peran sentral, termasuk dalam menyita aset tersangka sebagai jaminan restitusi sesuai ketentuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Buku ini diharapkan menjadi kontribusi positif insan Adhyaksa dalam peningkatan kualitas penegakan hukum.

Dr. Atnike Nova Sigiro dalam kata pengantarnya menekankan, pengaturan restitusi sebagai hak korban telah diatur dalam UU TPPO. Namun, masih banyak kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya, seperti tantangan pembuktian unsur pidana TPPO, koordinasi antar aparat penegak hukum dalam proses restitusi, serta kekosongan norma yang menghambat realisasi hak restitusi.

Ia berharap buku ini dapat menjadi pemantik diskusi yang lebih mendalam untuk perbaikan kebijakan dan praktik hukum yang lebih berpihak pada korban, sekaligus memperkuat komitmen negara dalam pemberantasan perdagangan orang dan perlindungan hak asasi manusia.

Dalam sekapur sirihnya, Ali Mazi, S.H. menyoroti peran kejaksaan dalam memastikan korban mengetahui haknya atas restitusi. Jaksa juga berwenang mengarahkan penyidik agar melengkapi berkas perkara dengan permohonan ganti rugi, serta melakukan penyitaan aset tersangka sebagai jaminan pembayaran restitusi, baik atas kerugian material maupun immaterial sebagaimana ditetapkan oleh LPSK. Ia menitipkan dua pesan penting:

Pentingnya kajian mendalam terkait restitusi bagi korban TPPO, demi efektivitas pencegahan dan penanganan TPPO serta peningkatan pemahaman para pemangku kepentingan.

Perlunya revisi atas UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO dan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, agar terjadi sinergi antarlembaga penegak hukum untuk meringankan beban korban.

Sebagai penulis, Rudy berharap adanya rekonstruksi kebijakan dan regulasi mengenai restitusi korban TPPO agar pelaksanaannya lebih efektif. Salah satu perhatian penting adalah aturan mengenai pidana pengganti apabila restitusi tidak dibayar, yang saat ini hanya maksimal satu tahun, sehingga terpidana lebih memilih menjalani kurungan daripada membayar restitusi.

Semoga buku ini menjadi panduan yang informatif dan inspiratif bagi para pembuat kebijakan, praktisi hukum, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta seluruh pihak yang peduli terhadap isu perdagangan orang.

Mari bersama-sama kita menelusuri jalan restitusi korba- demi mengembalikan yang hilang, serta membangun masa depan yang lebih adil dan berbelas kasih bagi para korban. (*)

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan