Oleh: Prof. Ali Mochtar Ngabalin
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Saya membuka refleksi ini dengan rasa syukur sebagai anak bangsa yang menyaksikan kesungguhan seorang pemimpin menjalankan tugasnya tidak hanya secara formal, tetapi juga dengan perenungan mendalam atas tanggung jawabnya kepada rakyat.
Dalam dunia yang sering gaduh oleh tarik-menarik kepentingan, kita justru melihat satu peristiwa yang sederhana namun mengandung makna besar: Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, berdiri di pelataran Ka’bah, bukan untuk pertunjukan, tetapi untuk menyampaikan doa dan harapan bagi bangsanya.
Pada Rabu dini hari waktu setempat, dalam sela-sela kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi, Presiden Prabowo melaksanakan ibadah umrah. Tapi inilah yang membedakannya: dari heningnya tempat paling sakral dalam tradisi Islam, ia langsung bergerak ke ruang diplomasi dan kebijakan.
Dari lantai marmer Masjidil Haram, ia melangkah menuju meja perundingan dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman bin Abdul Aziz Al Saud, membawa satu misi besar: membangun Kampung Haji Indonesia di Jabal Umar, Mekkah.
Saya sudah lama hadir dalam banyak forum internasional, membahas relasi antara agama, negara, dan pembangunan. Dan momen ini menjadi contoh hidup dari apa yang disebut oleh para filsuf klasik maupun negarawan modern.
Sintesis antara kontemplasi dan aksi— ora et labora.
Prabowo tak berhenti di perenungan. Ia lanjut dengan kerja konkret, membangun gagasan yang akan menyentuh ratusan ribu warga negaranya setiap tahun.
Proposal yang disampaikan Presiden kepada Putra Mahkota Saudi bukan wacana biasa. Lahan 50 hektar telah disiapkan. Tujuannya: membangun kawasan pelayanan terpadu bagi jemaah haji dan umrah asal Indonesia.
Lebih dari 200 ribu jemaah haji dan 1,5 juta jemaah umrah asal Indonesia setiap tahun, selama ini menghadapi tantangan akomodasi, logistik, dan risiko kesehatan yang tinggi. Tahun ini saja, tingkat kematian jemaah haji cukup tinggi, di 14% menurut pemberitaan Kompas. Maka wajar bila Prabowo menawarkan solusi jangka panjang: bukan sekadar penghematan biaya, tapi juga perbaikan kualitas hidup para peziarah Indonesia di Tanah Suci.
Sebagai akademisi yang menekuni moderasi beragama di kampus besar di Busan Korea, dan dalam kapasitas saya sebagai ketua DPP Partai Golkar dalam hubungan internasional, saya menilai langkah ini sebagai terobosan diplomatik yang jarang kita lihat. Ini bukan sekadar proyek infrastruktur.
Ini adalah simbol kehadiran negara dalam dimensi kehidupan rakyat yang paling dalam. Kampung Haji adalah bentuk soft power yang konkret: Indonesia menunjukkan bahwa ia hadir bukan hanya dalam rapat-rapat global, tetapi juga dalam ruang-ruang kemanusiaan yang paling personal—seperti pelayanan haji.
Namun lebih dari itu, kita harus cermat membaca makna yang lebih luas. Kampung Haji adalah investasi luar negeri, ya. Tetapi ini bukan investasi semata demi kebanggaan agama, melainkan demi kepentingan publik dan reputasi Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.
Ini juga bentuk relasi jangka panjang yang saling menguntungkan dengan pemerintah Arab Saudi—hubungan dua bangsa besar yang dibangun melalui kepercayaan dan kepedulian terhadap warganya masing-masing.
Tentu, sebagai bangsa majemuk, kita tidak boleh terjebak dalam narasi sempit. Gagasan Kampung Haji harus dilihat sebagai refleksi komitmen negara terhadap kualitas pelayanan publik lintas bidang—bukan hanya urusan ibadah, tetapi juga kesehatan, keselamatan, dan efisiensi kebijakan.
Maka penting bagi Pak Prabowo untuk membawa pulang semangat universal dari langkah ini: bagaimana pelayanan publik dirancang dengan keberpihakan kepada rakyat kecil, bagaimana infrastruktur disusun dengan keberlanjutan, dan bagaimana nilai-nilai kemanusiaan menjadi dasar dari kerja pemerintahan.
Sebagai pengajar dalam bidang moderasi beragama, saya juga ingin menekankan bahwa langkah besar ini tak boleh dipahami eksklusif sebagai milik satu golongan. Justru dari tempat suci itu, kita bisa membawa pulang semangat harmoni: bahwa Indonesia harus tetap menjadi rumah bersama bagi seluruh umat beragama.
Islam yang ditampilkan Presiden Prabowo adalah Islam yang terbuka, rasional, dan penuh kasih.
Saya yakin, Pak Prabowo tidak menjadikan keyakinan sebagai alat politik, tetapi sebagai sumber etika publik. Di sinilah letak pentingnya moderasi: bahwa spiritualitas tidak boleh lepas dari tanggung jawab sosial dan keharmonisan antar umat.
Saya menyimpulkan dengan satu kalimat: Prabowo telah menunjukkan bahwa kepemimpinan yang kuat bukan hanya diukur dari strategi ekonomi atau kekuatan militer, tetapi juga dari keberanian menyentuh sisi terdalam kemanusiaan rakyatnya.
Beliau berdoa bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mandat yang ia emban. Ia bekerja bukan untuk pujian, tetapi demi menyempurnakan pelayanan.
Ora et labora bukan jargon. Di tangan Prabowo, beliau menjadi praktik nyata. Dan bagi saya, ini awal dari sebuah diplomasi baru Indonesia yang lebih manusiawi, lebih menyentuh, dan lebih membanggakan di mata dunia. (*)
*Penulis adalah Guru Besar Hubungan Internasional Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan & Ketua DPP Partai Golkar
Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional