Temuan penelitian di Pamijahan, kab. Bogor menunjukkan, 95% balita telah terpapar kental manis sejak usia 8 bulan. Kental manis mengandung gula tinggi, yaitu lebih dari 40gr per sachet / per takaran saji. Konsumsi gula berlebih pada anak berdampak terhadap gizi dan tumbuh kembangnya.
Bogor, 19 Maret 2025 – Kesalahan konsumsi kental manis yang dijadikan sebagai minuman susu untuk anak masih menjadi persoalan penting yang membutuhkan perhatian. Pasalnya, bayi berusia dibawah 12 bulan pun telah terpapar kental manis melalui Makanan Pendamping ASI (MPASI). Konsumsi makanan dan minuman tinggi gula pada balita dan bayi ini beresiko terhadap kecukupan gizi dan tumbuh kembangnya serta anak rentan terkena penyakit tidak menular.
Temuan tersebut mengemuka dalam paparan hasil penelitian Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bersama Pimpinan Daerah Aisyiyah Kab Bogor dan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) yang dirilis Rabu, 19 Maret 2025. Ketua tim penelitian Prof. Dr. Tria Astika Endah Permatasari SKM., MKM mengatakan, sebanyak 95% responden penelitian mengonsumsi kental manis mulai dari usia 8 bulan ke atas, bersamaan dengan periode MPASI.
“Sebanyak 95% balita diberikan kental manis mulai usia 8 bulan ke atas” ujar Tria.
Penelitian bertujuan untuk menggali dampak kesehatan dan status gizi balita di Kecamatan Pamijahan, Kab. Bogor, dilakukan terhadap 100 responden yang tersebar di empat desa yakni Cibitung Wetan, desa Cibitung Kulon, desa Ciasihan, dan desa Cibunian. Pamijahan sendiri merupakan wilayah stunting tertinggi kedua di Kabupaten Bogor. Tercatat, angka stunting di Pamijahan sebesar 502 pada tahun 2024.
Penelitian yang dilakukan pada Februari 2025 itu juga menemukan frekuensi konsumsi kental manis yang cukup tinggi. Sebanyak 27% balita mengonsumsi kental manis lebih dari dua kali sehari. Sementara 36% mengonsumsi dua kali sehari, dan 36% lainnya sebanyak satu kali sehari, dan 1% diberikan hanya jika anaknya meminta kental manis.
Sebagaimana diketahui, dalam 1 takaran saji kental manis mengandung 40 gr gula. Itu artinya, dalam satu hari, 63% balita mengonsumsi gula melebihi batas konsumsi gula harian. Padahal, batas konsumsi gula harian anak berdasarkan anjuran American Heart Association adalah 25%.
Dokter spesialis anak RS. Palang Merah Indonesia Bogor, dr. Satrio Bhuwono Prakoso, Mked, Sp.A mengatakan konsumsi kental manis menimbulkan sejumlah gangguan, salah satunya ialah gigi. Hal itu disebabkan tingginya kandungan gula yang ada pada kental manis.
“Gula yang ada pada kental manis dapat menyebabkan penyakit terhadap gigi” tutur dr. Satrio
Hal senada juga disampaikan oleh Kabid Kesmas Dinkes Kab. Bogor, dr. Intan Widayati, MA yang mengatakan konsumsi kental manis dapat memicu stunting pada anak. Pasalnya, kental manis membuat anak tidak mendapat gizi yang seharusnya karena enggan mengonsumsi makanan utama lainnya karena sudah terlanjur kenyang akibat mengonsumsi kental manis.
“Kenapa [dapat menimbulkan] stunting? karena anak tidak menerima gizi, mikronutrien,” ujar dr. Intan
Ketua Majelis Kesehatan PDA kab Bogor, Lina Marlina, yang terlibat langsung dalam pengumpulan data responden menuturkan, salah satu pemicu kebiasaan konsumsi kental manis oleh balita adalah akses masyarakat terhadap produk.
“Disamping memang masyarakat tidak teredukasi, warung-warung hanya menyediakan produk kental manis. Pemilik warung tahunya itu susu, jadi masyarakat saat datang ke warung mencari susu untuk anak, ya dikasihnya kental manis. Jadi ini sudah menjadi kesalahan berjamaah, kita tidak bisa hanya menyalahkan ibu atau orang tua yang tidak teredukasi, namun juga lingkungan, dan media sumber informasi masyarakat,” jelas Lina.
Lebih lanjut, Ia berharap temuan kesalahan konsumsi kental manis di Pamijahan dapat segera ditindak lanjuti dengan serius. Sebab, berdasarkan hasil penelitian juga terlihat adanya korelasi antara kebiasaan konsumsi kental manis terhadap kesehatan anak. Sementara, Pamijahan dan Kabupaten Bogor memiliki persentase penduduk dengan usia produktif yang tinggi.
“Catatan BPS tahun 2024, persentase usia produktif kabupaten Bogor sebesar 70,79%. Artinya, ada bonus demografi yang cukup tinggi. Hanya saja, jika kelompok ini tidak di edukasi, maka bonus demografi yang kita harapkan akan membangun negeri malah akan menjadi beban karena sedari kecil asupan gizi tidak terpenuhi. Kebiasaan konsumsi makanan minuman tinggi gula ini jelas membuat anak rentan terkena penyakit tidak menular, perkembangan otak tidak optimal dan dimasa mendatang memiliki daya saing yang lemah,” jelas Lina.
Sementara itu, Sekjen YAICI, Satria Yudistira mengatakan penelitian yang dilakukan pihaknya bersama UMJ dan PDA Kab. Bogor tidak lain sebagai bentuk dukungan dalam pengentasan gizi buruk dan stunting. Hadirnya penelitian ini, diharapkan mampu menjadi pijakan bagi seluruh pihak untuk menentukan arah kebijakan kesehatan.
“Sejak tahun 2018, YAICI telah konsisten berkolaborasi dengan kampus dan akademisi untuk melakukan riset dan penelitian untuk melihat fenomena di masyarakat, bagaimana persepsi masyarakat terhadap kental manis hingga kebiasaan konsumsi kental manis baik pada balita maupun ibu hamil. Hal ini diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi stakeholder untuk mengawal penurunan stunting dan gizi buruk serta perbaikan status gizi anak,” jelas Satria.
Lebih lanjut, Satria memaparkan sejumlah kampus yang telah turut serta berkontribusi terhadap penelitian mengenai kental manis, diantaranya Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Airlangga (UNAIR), dan Universitas Negeri Semarang (UNNES). Komitmen tinggi yang ditunjukkan melalui penelitian tersebut bertujuan agar memperkaya literatur dengan penelitian-penelitian yang akan bermanfaat bagi masyarakat.