Oversharing di Media Sosial, Cari Perhatian atau Butuh Pertolongan?

2 months ago 46
Ilustrasi

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID--Di tengah era keterbukaan dan koneksi tanpa batas, kita hidup dalam budaya "berbagi" yang semakin kuat. Mulai dari update suasana hati, status hubungan, hingga konflik rumah tangga, semua bisa tumpah ruah ke ruang publik hanya dalam hitungan detik. Fenomena ini dikenal sebagai oversharing.

Tak sedikit orang yang tanpa sadar membagikan terlalu banyak informasi pribadi—baik dalam percakapan langsung maupun di media sosial hingga berujung pada penyesalan, kecemasan, bahkan kerugian pribadi.

“Terkadang saya merasa perlu cerita ke orang lain. Tapi setelahnya, saya justru merasa malu dan khawatir. Ternyata, saya cerita terlalu banyak,” ujar Laila (27), seorang pekerja kreatif yang pernah viral karena curhat soal masalah rumah tangganya di TikTok.

Apa Itu Oversharing?

Oversharing adalah kebiasaan membagikan informasi pribadi secara berlebihan, seringkali tanpa mempertimbangkan konteks, audiens, atau dampaknya. Dalam banyak kasus, kebiasaan ini dipicu oleh kebutuhan untuk mendapatkan dukungan, validasi, atau sekadar merasa didengar.

Namun, ada juga yang sengaja melakukannya demi simpati, perhatian, atau bahkan popularitas di media sosial.

Risiko Oversharing yang Perlu Diwaspadai

Meskipun bercerita bisa membangun koneksi dan kepercayaan, berbagi secara berlebihan justru bisa berdampak sebaliknya:

  • Privasi terancam, apalagi jika data pribadi disalahgunakan.
  • Penyesalan dan rasa malu setelah cerita tersebar luas.
  • Citra diri rusak, karena dianggap tidak bisa menyaring informasi.
  • Cyberbullying, apalagi bila konten menyentuh topik sensitif.
  • Menjauhkan orang lain, karena cerita terlalu personal atau emosional.

Tips Menghindari Oversharing

Agar tak terjebak dalam kebiasaan oversharing, berikut ini beberapa langkah yang bisa dicoba dilansir dari alodokter, diantaranya:

  1. Berpikir Dua Kali Sebelum Bicara atau Posting
    Tanyakan pada diri sendiri: "Apa manfaatnya jika saya membagikan ini?" atau "Apakah saya akan menyesal nanti?"
  2. Fokus pada Hal Positif dan Inspiratif
    Daripada curhat masalah pribadi, cobalah berbagi tentang kegiatan produktif atau hobi yang Anda nikmati.
  3. Pilih Tempat Curhat yang Aman
    Jika Anda butuh bercerita, pilih orang yang tepat seperti sahabat terpercaya, pasangan, atau profesional kesehatan mental.
  4. Tulis Jurnal atau Luapkan Emosi Lewat Aktivitas
    Menulis jurnal atau berolahraga bisa jadi alternatif sehat untuk mengekspresikan perasaan tanpa harus memaparkan diri ke publik.
  5. Kenali Kapan Harus Minta Bantuan Ahli
    Jika kebiasaan oversharing sudah mengganggu atau berkaitan dengan kondisi psikologis seperti depresi, gangguan kecemasan, ADHD, atau PTSD, jangan ragu untuk berkonsultasi ke psikolog.

Oversharing Bisa Jadi Tanda Masalah Emosiona

Tak semua yang suka berbagi cerita punya niat buruk. Dalam banyak kasus, oversharing bisa jadi sinyal bahwa seseorang sedang merasa kesepian, tertekan, atau mengalami gangguan emosional yang belum terselesaikan.

Psikolog klinis menyebutkan bahwa individu dengan borderline personality disorder (BPD), ADHD, atau mereka yang mengalami trauma bisa mengalami dorongan kuat untuk bercerita tanpa filter. Itu sebabnya, penting untuk melihat oversharing bukan hanya sebagai kebiasaan buruk, tapi sebagai sinyal butuh pertolongan.

Tidak Semua Cerita Harus Dibagikan

Belajar menyaring mana yang perlu dibagikan dan mana yang sebaiknya disimpan untuk diri sendiri adalah bentuk kedewasaan. Di era digital ini, menjaga privasi bukan berarti tertutup tetapi tahu kapan dan kepada siapa kita membuka diri.(*)

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan