
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Puluhan guru perempuan yang baru saja dilantik sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), secara mengejutkan mengajukan permohonan cerai. Fenomena tak biasa ini muncul di Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Data Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar mencatat, hingga Juni 2025, terdapat 20 guru SD PPPK yang mengajukan izin cerai, dan 70 persen di antaranya merupakan guru perempuan.
Menurut Kepala Bidang Pembinaan SD, Deni Setiawan, jumlah ini melonjak drastis dibandingkan tahun sebelumnya.
"Sepanjang 2024 hanya ada 15 permohonan. Semester pertama tahun ini saja sudah 20 pengajuan,” ujar Deni Setiawan, dikutip dari Jawa Pos. Com (induk Kendari Pos), Rabu (23/7/2025).
Mayoritas dari guru perempuan tersebut, lanjutnya, telah menjalani pernikahan cukup lama: belasan hingga puluhan tahun, sebelum akhirnya memutuskan berpisah. Fenomena ini bahkan disebut sebagai gejala “PPPK sindrom”, yakni perubahan sikap atau kondisi rumah tangga pasca perubahan status kepegawaian.
Alasan utama yang diungkapkan para guru adalah ketimpangan ekonomi rumah tangga. Setelah menjadi PPPK dan memperoleh penghasilan tetap serta gaji lebih banyak, posisi mereka dalam rumah tangga ikut berubah. Hal ini kerap memicu ketegangan, terutama jika pasangan tidak memiliki penghasilan tetap.
“Banyak dari mereka yang selama ini menanggung beban ekonomi sendiri, dan setelah mandiri secara finansial, mereka merasa lebih berani mengambil keputusan,” ungkap Deni.
Tak Bisa Langsung Cerai
Dinas Pendidikan menekankan, guru PPPK tidak bisa langsung mengajukan cerai ke pengadilan agama atau negeri. Sebagai ASN, mereka diwajibkan mengajukan izin cerai kepada kepala daerah melalui instansi masing-masing. Tanpa izin tersebut, perceraian bisa dianggap melanggar aturan kepegawaian dan berdampak pada status kerja.
Peningkatan angka perceraian ini menjadi perhatian serius. Dinas Pendidikan berencana melakukan pembinaan mental dan pelatihan pengelolaan keluarga bagi para guru baru agar tidak hanya fokus pada karier, tetapi juga pada stabilitas kehidupan pribadi.
“Kami prihatin dengan kondisi ini. Stabilitas rumah tangga sangat memengaruhi kinerja di lapangan,” tambahnya.
Fenomena ini menjadi tantangan baru dalam dunia pendidikan. Status ASN memang memberikan kepastian finansial, namun juga membawa dinamika sosial yang perlu diantisipasi dengan pendekatan yang lebih menyeluruh. (KP)