Bukan Air Kemasan Gelas, Sampah Sachet Yang Paling Banyak di Bali

3 days ago 16

SHNet, Denpasar – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali tengah menggencarkan penanganan sampah di Pulau Dewata melalui Surat Edaran (SE) nomor 9 tahun 2025 tentang gerakan Bali bersih. Meski demikian, pengentasan sampah dilakukan dengan melarang produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter.

Kebijakan ini pun memicu kontroversial lantaran bakal berdampak negatif bagi perekonomian Bali. Sejumlah pakar dan praktisi menilai bahwa pembatasan produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter tidak akan menyelesaikan masalah sampah di Bali mengingat komponen sampah di Bali tidak hanya berasal dari kemasan air.

Koordinator Nol Sampah, Wawan Some menyayangkan SE hanya bersifat parsial karena hanya melarang peredaran plastik air kemasan. Padahal, sambung dia, jenis plastik yang banyak beredar dan benar-benar menjadi limbah adalah sachet bukan kemasan air minum.

“Jadi kalau alasan (penerbitan SE) karena sampah plastik banyak tidak tepat, padahal sebenarnya beberapa survei yang dilakukan paling banyak itu sachet yang ukurannya kecil,” kata Wawan Some.

Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK mencatat bahwa timbulan sampah di Bali pada tahun 2024 mencapai 1,2 juta ton. Komposisinya sampah organik seperti sisa makanan dan ranting kayu sebesar 68,82 persen sedangkan limbah anorganik semisal plastik dan kertas sebanyak 28,01 persen. Limbah plastik menyumbang 13,64 persen dari komposisi sampah anorganik.

Mengutip data Sungai Watch terkait sampah di Bali dan Banyuwangi, limbah air kemasan botol PET hanya 4,4 persen. Masih lebih banyak kemasan sachet (5,5 persen), kantong plastik (15,2 persen) dan plastik bening (16,2 persen). Kecuali kemasan sachet, semua jenis sampah plastik ini masih memiliki nilai ekonomis karena bisa di daur ulang.

Wawan menilai apabila melihat data tersebut seharusnya pemprov Bali tidak melarang produksi dan peredaran air kemasan di bawah 1 liter. Dia mengatakan, botol air kemasan merupakan limbah dengan tingkat daur ulang yang tinggi karena memiliki nilai ekonomi dan berukuran besar sehingga mudah dikumpulkan.

Dia melanjutkan, setiap botol air kemasan juga memiliki nilai masing-masing mulai dari tutup dan kemasan karena memiliki jenis plastik plastik yang berbeda. Berbeda dengan kemasan sachet yang memerlukan proses sehingga membutuhkan biaya tambahan, akibatnya tidak dilirik oleh para pemulung.

Dia melanjutkan, keberadaan SE tersebut juga akan merugikan masyarakat luas, terlebih yang bergantung pada komoditas sampah air kemasan seperti pemulung. Dia mengatakan, pelarangan produksi dan distribusi itu akan merugikan perekonomian mereka.

“Pemulung di TPA ini butuh pekerjaan dan hidup dari situ, mereka nggak pernah juga minta ke pemerintah. Jadi seharusnya berhati-hati dalam menerapkan kebijakan,” katanya.

Senada, data sensus Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) juga mendapati bahwa bungkus sachet merupakan sampah yang paling sering terjaring operasi. Sachet mendominasi total 25.733 sampah plastik yang dikumpulkan oleh lembaga pemerhati lingkungan tersebut.

Koordinator Program Sensus Sampah Plastik BRUIN, Muhammad Kholid Basyaiban mempertanyakan SE nomor 9 tahun 2025 yang sama sekali tidak melarang produksi dan distribusi kemasan sachet. Dia mengaku heran pelarangan malah menyasar kemasan air yang sudah jelas memiliki ekonomi dan mudah didaur ulang.

Kholid mengatakan barang buangan sachet merupakan kategori limbah beresidu yang sangat sulit didaur ulang. Data brand audit BRUIN pada April 2024 lalu menemukan bahwa sampah dari kemasan sachet di Bali itu sangat dominan, di samping limbah unbranded seperti kresek dan styrofoam.

“Kalau ngomongin sachet waktu kami melakukan brand audit sampah di Bali itu juga dominan. Sampah-sampah ini nggak bisa didaur ulang juga. Mereka ini sampah-sampah residu,” tegas Kholid.

Meskipun mendukung SE pemerintah Bali untuk mengurangi limbah plastik sekali pakai, namun dia menyayangkan langkah penanganan sampah diskriminatif yang diambil Gubernur Wayan Koster. Dia kecewa kepala daerah kader PDIP itu tidak mengikutsertakan pelarangan distribusi produk sachet di Bali.

“Justru sampah sachet yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak bisa didaur ulang sama sekali tidak ada larangan bagi produsen untuk menjual dan mendistribusikan produknya di Bali,” katanya. (Rudy)

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan