Oleh: Diana Triwardhani
Dalam satu dekade terakhir, munculnya ekonomi kreator digital (digital creator economy) menjadi salah satu fenomena paling mencolok dalam lanskap ekonomi global, termasuk Indonesia. Platform seperti YouTube, TikTok, Instagram, Twitch, hingga Substack dan Patreon telah membuka jalan bagi individu untuk memonetisasi kreativitas mereka secara langsung.
Dari konten hiburan, edukasi, ulasan produk, hingga podcast dan seni visual, para kreator kini memiliki peluang menghasilkan uang dari karya mereka tanpa harus bergantung pada institusi tradisional seperti media massa atau rumah produksi.
Namun, di balik geliat dan pesona ekonomi kreator digital, terdapat dinamika kompleks yang memunculkan pertanyaan mendasar: apakah ekonomi kreator ini benar-benar membuka peluang baru yang adil dan berkelanjutan, atau justru menciptakan bentuk baru dari eksploitasi di bawah algoritma dan tekanan platform digital?
Perkembangan Ekonomi Kreator Digital
Ekonomi kreator digital merujuk pada ekosistem ekonomi di mana individu menciptakan konten digital dan menghasilkan pendapatan dari audiens mereka, baik melalui iklan, sponsor, langganan, merchandise, hingga donasi. Menurut laporan dari Influencer Marketing Hub (2024), ekonomi kreator global diperkirakan bernilai lebih dari USD 250 miliar dan akan terus tumbuh pesat seiring penetrasi internet dan media sosial.
Di Indonesia, fenomena ini semakin nyata dengan hadirnya ribuan kreator konten yang menjadikan platform digital sebagai sumber penghasilan utama. Pemerintah bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi digital melalui inisiatif seperti Program Kreator Lokal dan pelatihan UMKM digital.
Peluang Nyata dalam Ekonomi Kreator
Pertama, Demokratisasi Kreativitas. Siapa saja yang memiliki akses internet dan gawai kini dapat menjadi kreator. Tidak perlu latar belakang pendidikan seni atau media, asalkan punya ide, konsistensi, dan keberanian berekspresi, peluang terbuka lebar.
Kedua, Sumber Penghasilan Alternatif. Banyak kreator yang mampu memperoleh pendapatan signifikan dari kanal mereka. Pendapatan tersebut bisa berasal dari iklan (AdSense), endorsement brand, kolaborasi, hingga menjual produk digital (kursus, e-book, dll).
Ketiga, Otonomi dan Kebebasan. Kreator memiliki kontrol atas konten dan merek pribadinya. Mereka bebas memilih topik, cara penyajian, dan model bisnis yang sesuai dengan audiens mereka.
Keempat, Dampak Sosial dan Budaya. Kreator dapat membentuk opini publik, membangun komunitas positif, dan mengangkat isu-isu penting yang jarang disorot media arus utama. Ini memberi kekuatan sosial yang tidak kecil.
Sisi Gelap: Eksploitasi dalam Balutan Kebebasan?
Meskipun terlihat menjanjikan, ekonomi kreator juga menghadirkan risiko-risiko struktural yang tidak bisa diabaikan:
Pertama, Ketergantungan pada Algoritma. Kreator harus terus menyesuaikan diri dengan algoritma platform yang sering berubah. Algoritma menentukan visibilitas, engagement, dan pada akhirnya pendapatan. Ini menciptakan ketidakpastian dan tekanan untuk terus membuat konten viral.
Kedua, Kerja Berlebihan dan Burnout. Tidak jarang kreator bekerja lebih dari 8 jam sehari untuk riset, produksi, editing, promosi, dan interaksi dengan audiens. Namun karena sifatnya informal, pekerjaan ini sering tidak diakui secara legal sebagai “pekerjaan penuh” yang layak dengan jaminan sosial atau kesehatan.
Ketiga, Monetisasi yang Tidak Merata. Hanya sebagian kecil kreator yang benar-benar mampu hidup dari konten. Mayoritas kesulitan mencapai ambang batas monetisasi atau pendapatannya sangat kecil dibanding jumlah kerja yang dikeluarkan. Distribusi pendapatan cenderung sangat timpang.
Keempat, Komodifikasi Diri. Dalam upaya menjaga engagement, banyak kreator merasa terdorong untuk mengeksploitasi kehidupan pribadi mereka. Privasi menjadi barang langka, dan tekanan untuk selalu tampil sempurna bisa berdampak buruk pada kesehatan mental.
Kelima, Platform-Oriented, Bukan Creator-Oriented. Meskipun platform bergantung pada kreator untuk konten, mereka memiliki kontrol penuh atas algoritma, monetisasi, dan kebijakan. Banyak kasus demonetisasi sepihak, penghapusan konten, atau perubahan kebijakan yang merugikan kreator tanpa transparansi atau mekanisme keberatan yang adil.
Studi Kasus: Kreator Indonesia di Tengah Kesenjangan
Di Indonesia, beberapa nama seperti Jerome Polin, Fadil Jaidi, dan Gita Savitri sukses menjadikan diri mereka sebagai brand digital yang kuat. Namun, jutaan kreator lainnya berjuang tanpa dukungan finansial atau keamanan kerja. Kreator dari daerah atau kelompok marjinal sering kali mengalami kesulitan akses, keterbatasan perangkat, atau kesenjangan literasi digital.
Selain itu, muncul juga banyak kasus konten clickbait dan eksploitasi isu sensitif demi engagement. Hal ini memperlihatkan bahwa ekonomi kreator tidak lepas dari persoalan etika dan nilai.
Menuju Ekonomi Kreator yang Lebih Berkeadilan
Agar ekonomi kreator benar-benar menjadi peluang yang inklusif dan berkelanjutan, beberapa hal penting perlu dilakukan:
Pertama, Transparansi Algoritma dan Monetisasi. Platform digital harus membuka ruang dialog dan memberikan transparansi terkait algoritma dan sistem monetisasi agar kreator dapat memahami dan menyesuaikan strategi mereka secara etis.
Kedua, Regulasi dan Perlindungan. Pekerja Digital Pemerintah perlu merancang regulasi untuk melindungi pekerja digital, termasuk jaminan sosial, hak kekayaan intelektual, dan perlindungan dari eksploitasi kerja.
Ketiga, Pendidikan Digital yang Inklusif. Literasi digital harus ditingkatkan tidak hanya di kota besar, tetapi juga di daerah. Akses terhadap pelatihan, perangkat, dan pendanaan menjadi kunci agar ekonomi kreator tidak eksklusif bagi kelompok tertentu saja.
Keempat, Membangun Ekosistem Kreator Lokal. Kolaborasi antara kreator lokal, komunitas, pemerintah, dan sektor swasta dapat menciptakan ekosistem kreatif yang sehat dan saling mendukung.
Kelima, Etika dan Tanggung Jawab Sosial. Kreator perlu menyadari tanggung jawab sosial mereka. Mempromosikan nilai, edukasi, dan empati dalam konten menjadi salah satu cara menjadikan profesi ini bermakna.
Ekonomi kreator digital membuka babak baru dalam dunia kerja dan industri kreatif. Di satu sisi, ia memberi kebebasan, peluang penghasilan, dan pengaruh sosial yang besar bagi individu. Namun di sisi lain, ia juga mengandung potensi eksploitasi baru yang lebih terselubung, berbasis algoritma dan tekanan engagement.
Pertanyaan tentang apakah ekonomi kreator adalah peluang atau eksploitasi bukanlah pertanyaan biner, tetapi spektrum yang tergantung pada konteks, kebijakan, dan kesadaran aktor yang terlibat.
Masa depan ekonomi kreator akan sangat ditentukan oleh kemampuan kita bersama — kreator, platform, pemerintah, dan masyarakat — dalam membangun sistem yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Dengan begitu, ekonomi kreator bisa menjadi bukan hanya ruang berekspresi, tetapi juga ruang kerja layak yang memanusiakan.
Penulis, Diana Triwardhani, SE.MM., Ph.D adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UPN Veteran Jakarta