SHNet, Denpasar– Larangan produksi dan distribusi air kemasan di bawah satu liter oleh pemerintah provinsi (pemprov) Bali dinilai tidak tepat sasaran. Data menunjukkan bahwa jenis sampah plastik terbanyak di Bali bukan berasal dari botol PET, melainkan dari sachet dan kantong plastik yang justru luput dari regulasi.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK) 2024 mencatat bahwa 68,82 persen sampah di Bali merupakan limbah organik. Sedangkan 31,18 persen sisanya adalah sampah anorganik. Dari angka tersebut, sebesar 13,64 persen merupakan sampah plastik.
Audit sampah yang dilakukan Sungai Watch pada tahun yang sama mendapati bahwa komposisi sampah plastik di Bali terdiri dari 16,2 persen plastik bening, 15,2 persen kantong plastik 5,5 persen sachet dan hanya 4,4 persen botol PET yang biasa digunakan sebagai wadah air kemasan.
Mantan anggota DPRD Bali, Anak Agung Susruta Ngurah Putra mengatakan bahwa ini berarti pelarangan air kemasan di bawah 1 liter tidak akan menjadi solusi masalah sampah di Pulau Dewata apabila memahami data-data tersebut. Menurutnya, tidak bijak menjadikan air kemasan sebagai kambing hitam atas masalah sampah yang ada.
“Sebenarnya yang jadi masalah bukan plastik tetapi manusianya. Orang yang tidak disiplin di dalam hal membuat sampah,” katanya.
Dia menegaskan bahwa tugas pemerintah adalah menangani bagaimana untuk mendisiplinkan masyarakat agar membuang sampah plastik pada tempat yang tepat. Dia melanjutkan, bukan justru melarang produksi dan distribusi air kemasan yang menghidupi hajat hidup orang banyak mulai dari sektor industri, konsumsi hingga daur ulang.
Di satu sisi, AA Susruta mendukung upaya pemprov Bali untuk menekan jumlah sampah tapi tidak dengan pelarangan produksi dan distribusi. Namun, politikus yang juga pengusaha ini menilai bahwa pelarangan itu hanya menjadi kebijakan simbolik yang tidak berbasis data lapangan.
“Jadi mari kita bergerak ke solusi yang lebih sistemik yakni mengelola bukan melarang dan memberdayakan bukan menghapus,” katanya.
Menurutnya, langkah ini hanya akan melemahkan ekonomi sirkular yang saat ini sedang bertumbuh. Selain itu, SE ini juga meningkatkan kerentanan sosial terutama bagi pemulung dan buruh pabrik daur ulang, menurunkan kenyamanan wisatawan yang dapat berdampak pada pariwisata, dan tidak menyasar jenis sampah plastik yang paling merusak yakni sachet.
Koordinator Program Sensus Sampah Plastik BRUIN, Muhammad Kholid Basyaiban mengatakan barang buangan sachet merupakan kategori limbah beresidu yang sangat sulit didaur ulang. Data brand audit BRUIN pada April 2024 lalu menemukan bahwa sampah dari kemasan sachet di Bali itu sangat dominan, di samping limbah unbranded seperti kresek dan styrofoam.
“Kalau ngomongin sachet waktu kami melakukan brand audit sampah di Bali itu juga dominan. Sampah-sampah ini nggak bisa didaur ulang juga. Mereka ini sampah-sampah residu,” tegas Kholid.
Meskipun mendukung SE pemerintah Bali untuk mengurangi limbah plastik sekali pakai, namun dia menyayangkan langkah penanganan sampah diskriminatif yang diambil Gubernur Wayan Koster. Dia kecewa kepala daerah dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu tidak mengikutsertakan pelarangan distribusi produk sachet di Bali.
“Justru sampah sachet yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak bisa didaur ulang sama sekali tidak ada larangan bagi produsen untuk menjual dan mendistribusikan produknya di Bali,” katanya.
Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) menegaskan bahwa botol air kemasan di bawah satu liter merupakan material yang banyak dicari dan diolah dengan ketat oleh para industri daur ulang plastik. Pelarangan produksi dan distribusi air kemasan di bawah satu liter sangat merugikan anggota-anggota ADUPI yang ada di Bali dalam melakukan kegiatan bisnisnya.
“Ada kekhawatiran masyarakat tidak bisa melakukan usaha daur ulang dari mengumpulkan, memilah, dan lainnya. Akibatnya, akan ada penurunan produksi karena bahan sulit didapat, dan pemulung susah,” kata Sekretaris Jenderal ADUPI, Eddie Supriyanto.
Padahal data SWI (Sustainable Waste Indonesia) dan IPR (Indonesian Plastic Recyclers) menunjukkan kontribusi daur ulang plastik dalam produksi resin plastik mencapai 19 persen. Total nilai ekonomi mulai dari pengumpulan, agregasi hingga daur ulang plastik setidaknya mencapai Rp 19 triliun/tahun. (Rudy)