Pembatasan Akses Air Minum Bersih di Bali Berpotensi Alihkan Masyarakat ke Minuman Berperisa, Ini Bahayanya bagi Kesehatan

1 month ago 46

SHNet, Denpasar-Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang melarang penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah satu liter akan membatasi akses masyarakat terhadap air minum yang bersih dan sehat, terutama saat beraktivitas di luar rumah. Kebijakan itu akan berpotensi untuk para konsumen beralih mengkonsumsi air gelas berperisa yang banyak dijual di jalanan.  

Kepala Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud), Prof. dr. I Made Ady Wirawan, S.Ked.,M.P.H.,Ph.D., mengatakan minuman berperisa seperti soda, teh kemasan, minuman energi, dan jus dengan tambahan gula memiliki dampak serius terhadap kesehatan jika dikonsumsi berlebihan. “Kandungan gula tinggi dalam minuman ini dapat menyebabkan obesitas atau kegemukan, diabetes, kerusakan gigi, gangguan fungsi hati, dan meningkatkan risiko penyakit jantung,” ujarnya.

Selain itu, menurut dia, konsumsi rutin juga bisa memicu kecanduan gula dan masalah pencernaan. Disampaikan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan agar konsumsi gula tambahan dibatasi maksimal 25 gram per hari untuk menjaga kesehatan optimal.

Di Bali, katanya, meskipun tidak semua kasus penyakit secara langsung dikaitkan dengan minuman berperisa, data kesehatan menunjukkan tren peningkatan penyakit tidak menular seperti obesitas, diabetes, dan hipertensi, terutama di daerah perkotaan. Disebutkan, banyak masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja terbiasa mengkonsumsi minuman manis setiap hari yang dijual luas di warung-warung dan sekolah-sekolah. “Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi minuman tinggi gula berperan dalam meningkatnya beban penyakit, dan menjadi tantangan penting dalam upaya promosi kesehatan di Bali,” ungkapnya.

Dosen dari Prodi IKM Fakultas Kedokteran Unud lainnya, Dr. Ni Ketut Sutiari, S.KM., M.Si mengutarakan dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di tahun 2023 terhadap kelompok masyarakat usia di atas 18 tahun di Bali menunjukkan bahwa tidak ada yang tidak minum minuman berpemanis. “Saat ini kami sedang melakukan survei terhadap anak-anak usia sekolah terkait dengan konsumsi minuman berpemanis dan juga makanan tinggi kalori. Hasil penelitiannya belum, karena sedang jalan risetnya,” tuturnya.

Melihat kondisi ini, dia pun menyarankan untuk dilakukan edukasi kepada masyarakat terkait bahaya kesehatan dari minuman berperisa ini. “Regulasi dari dinas terkait terhadap izin edar minuman berpemanis ini juga harus dibuat. Selain itu, harus dilakukan pengawasan ketat dan sanksi terhadap penjual minuman berperisa ini,” ucapnya.

Selain menyebabkan penyakit, kemasan gelas dari minuman berperisa yang dijual masyarakat ini ternyata juga menyebabkan sampah di Bali. Seorang pengepul sampah yang kesehariannya mengepul sampah di TPA Suwung di Bali menuturkan bahwa sampah kemasan plastik dari minuman berperisa itu kurang menarik bagi para pemulung karena harganya yang sangat murah dibanding kemasan yang bermerek. “Jadi, di jalan-jalan juga kawan-kawan pemulung lebih mengutamakan untuk memulung kemasan bekas air minum bermerek ketimbang yang tidak bermerek,” ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan pemulung lainnya, Bu Harto. “Saya juga kalau mulung itu lebih memilih bekas botol air minum bermerek yang harganya lebih mahal ketimbang yang polos yang harganya sangat murah,” tukasnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, Fitrah Bukhari menganggap SE Gubernur Bali I Wayan Koster itu berpotensi melanggar hak konsumen. “Dengan adanya pelarangan produksi dan distribusi tersebut, akan berdampak pada hilangnya hak konsumen untuk memilih produk yang akan dikonsumsinya. Padahal, dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah satu hak Konsumen adalah hak untuk memilih barang,” katanya.

Dia menilai hal ini akan mengurangi variasi produk yang tersedia di pasar. Menurutnya, konsumen berhak memilih produk sesuai dengan preferensi mereka. “Ketika pilihan tersebut dibatasi, akan berdampak pada psikologis bahkan ekonomi. Larangan itu membuat konsumen harus membeli produk yang lebih mahal dan berat dari segi beban,” ujarnya.

Fitrah mengklaim larangan produksi dan distribusi AMDK di bawah 1 liter membuat konsumen berpotensi mengeluarkan kocek dan tenaga lebih. Sebab mereka akan membeli produk yang lebih mahal dan membawanya secara lebih berat. “Ketika pilihan tersebut dibatasi, akan berdampak pada psikologis bahkan ekonomi. Larangan itu membuat konsumen harus membeli produk yang lebih mahal dan berat dari segi beban. Hal ini tentu mengganggu kenyamanan konsumen,” tegasnya.

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan