SHNet, Jakarta-Hingga saat ini Kementerian Pekerjaan Umum (PU) belum melakukan update dan penyesuaian kapasitas daya dukung jalan terhadap perkembangan teknologi angkutan barang yang ada saat ini. Sementara, di negara-negara lain, mereka justru melakukan efisiensi daya angkut kendaraan dengan memperbesar kapasitas kendaraan.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Logistik & Forwarder Indonesia (ALFI,Trismawan Sanjaya, mengatakan kelas jalan yang ada saat ini, baik kelas jalan pedesaan, kabupaten, provinsi, dan nasional, masih merupakan jalan-jalan lama yang kapasitas daya dukungnya dengan kendaraan-kendaraan tempo dulu. “Padahal, jenis kendaraan sekarang dengan sistem industrialisasi modernisasi kan daya angkut kendaraannya sudah berkembang pesat agar bisa disesuaikan dengan efisiensi ekonomisnya,” ujarnya baru-baru ini.
Situasi seperti itulah yang menurut Trismawan akhirnya menjadikan sering dilakukannya pembatasan dan pelarangan karena kapasitas jalannya tidak sesuai. Alasannya, lanjutnya, kalau dipaksakan beroperasi, konstruksi jalannya menjadi rusak yang berakibat kepada biaya maintenance jadi tinggi. “Ini selalu menjadi dilema di Indonesia,” tuturnya.
Kalau di luar negeri, menurut dia, mereka justru melakukan efisiensi daya angkut kendaraan dengan memperbesar kapasitas kendaraan supaya daya angkutnya lebih efisien. Kemudian, lanjutnya, jalan di sana juga luas-luas lebarnya, sehingga kendaraannya bisa bermanuver lebih fleksibel. Itu yang membuat biaya logistik di luar negeri lebih ekonomis dan mau masuk ke jalan manapun lebih efisien. Daya angkut kendaraannya bisa lebih maksimal, tidak terjadi Over Load Over Dimension (ODOL).
“Kalau di tempat kita kan lebar jalan juga kalau cepat 40 feet yang mau mutar saja susah di jalan. Di jalan nasional saja sudah susah mereka, apalagi di jalan provinsi,” tandasnya.
Dia mengatakan gambaran jalan seperti itu menjadi satu faktor di mana akhirnya regulasi di Indonesia belum mendukung ke arah pengembangan dari angkutan barang. “Padahal, itu seharusnya yang dikembangkan pemerintah sehingga tidak lagi akhirnya menjadi pembatasan seperti di luar negeri. Pembangunan infrastruktur jalannya harus menyesuaikan kepada daya angkut yang lebih ekonomis dan efisien terhadap angkutan barang,” katanya.
Karenanya, kata Trismawan, persoalan ODOL ini tidak selesai-selesai hingga kini, disebabkan masalah efisiensi kegiatan logistiknya yang tidak pernah dipertimbangkan agar bisa optimal. “Selalu yang diutamakan itu kan masalah penegakan hukumnya selama ini,” ucapnya.
Dia mengatakan pembangunan infrastruktur jalan memang tidak bisa dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Karenanya, dia menyarankan perlunya dibuat peta komoditas. Misalkan, daerah Sumatera dan Jawa yang banyak industri besar, mungkin bisa diprioritaskan pembangunan infrastruktur jalannya lebih dulu. “Karena barang-barang yang dimensi besar itu banyak di sana, diprioritaskan pembangunan infrastruktur jalannya agar truk-truk besar bisa lewat jalan-jalan nasional, provinsi, dan kabupaten,” tukasnya.
Dia mengutarakan sulitnya membenahi infrastruktur jalan di Indonesia ini karena tidak adanya kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah. Padahal, menurutnya, jika ingin mendorong perekonomian lebih baik, kuncinya adalah logistik yang baik. “Sebab, logistik yang baik adalah keterhubungan infrastruktur jalan yang disesuaikan dengan daya angkut yang memang lebih efisien dan ekonomis. Jadi, harus mengurangi pembatasan-pembatasan dengan memenuhi daya angkut yang lebih ekonomis dan cukup efisien. Artinya, daya dukung jalannya juga harus disesuaikan dan membangun infrastruktur jalan yang berkesinambungan,” ujarnya.
Guru Besar Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI), Agus Purnomo, juga sepakat dengan adanya pembenahan infrastruktur jalan di Indonesia. Dia mengatakan banyak truk impor yang memiliki kapasitas angkut lebih besar tidak dapat digunakan secara maksimal di Indonesia. Hal itu disebabkan adanya perbedaan batasan muatan sumbu terberatnya (MST). Di mana, MST di Indonesia umumnya hanya 10 ton per sumbu. Dan beberapa negara seperti Eropa dan Amerika menetapkan MST lebih tinggi, yaitu sekitar 11-13 ton per sumbu.
Sementara, lanjutnya, banyak jalan di Indonesia, terutama jalan kabupaten dan provinsi tidak dirancang untuk menahan MST yang tinggi. “Jadi, jika digunakan tanpa modifikasi, truk-truk impor tersebut bisa melanggar regulasi dan dikenai sanksi,” ungkapnya.
Pengamat Transportasi, Deddy Herlambang, mengatakan untuk membenahi infrastruktur jalan itu harus melibatkan multisektor. Menurutnya, Kementerian PU, Kementerian Perhubungan, Bappenas, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, semua harus duduk bersama. “Jadi, harus duduk bersama untuk membahasnya. Itu kan rencana jangka panjang. Kalau mau kapasitas jalannya ditambah harus tahu keperluannya apa,” katanya. (CLS)