SHNet,Jakarta-Peristiwa pembakaran buku Catatan Najwa karya Najwa Shihab dalam video di media sosial tepat pada hari Sumpah Pemuda, tidak hanya mengusik ranah intelektual kita, tetapi juga mengancam kebebasan berpikir dan berekspresi, sebagai nilai fundamental dalam masyarakat beradab. Dalam konteks ini, kami, pegiat Taman Bacaan Masyarakat, terpanggil untuk menyatakan sikap, mengingatkan masyarakat akan sejarah kelam peradaban manusia yang mencerminkan dampak mengerikan dari tindakan destruktif penghancuran buku.
Penegasan tersebut dikemukakan Ketua Forum taman Bacaan Masyarakat (TBM) Pusat, Opik dalam pernyataan pers Forum TBM tertanggal 29 Oktober 2024 yang diterima redaksi, Rabu (30/10/2024).
Dalam pernyatana pers diceritakan, malam 10 Mei 1933 di Berlin menjadi momen simbolis ketika sekitar 70 ribu orang berkumpul di Opernplatz untuk menyaksikan aksi mahasiswa Nazi yang membakar lebih dari 20 ribu buku yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi mereka. Aksi ini, yang dipimpin oleh Herbert Gutjahr, dipenuhi dengan ujaran kebencian dan merasuk dalam usaha untuk menegaskan “kemurnian” ideologis dengan menolak karya-karya yang “non-Jerman.” Tindakan tersebut, diikuti oleh ribuan mahasiswa di kota-kota universitas di Jerman, menjadi preseden sejarah yang menunjukkan bahwa pembakaran buku seringkali merupakan langkah pertama menuju perampasan kebebasan, serta penindasan terhadap pemikiran dan nilai-nilai kemanusiaan.
Pembakaran Catatan Najwa mengingatkan kita pada berbagai tragedi serupa sepanjang sejarah, ketika pihak berkuasa atau perorangan yang fanatik menghancurkan karya sastra dan pengetahuan demi kepentingan ideologi atau kekuasaan. Seperti tindakan Qin Shi Huang tahun 213 SM yang memerintahkan pembakaran buku dan penguburan para sarjana, atau peristiwa pada tahun 1562 di Yucatán ketika para penakluk Spanyol membakar naskah-naskah suci masyarakat Aztek dan Maya. Kedua contoh ini memperlihatkan, penghancuran buku berarti penghancuran ingatan kolektif manusia.
Lucien X. Polastron dalam Books on Fire: The Destruction of Libraries throughout History (2007) menyatakan bahwa buku adalah “bayangan dari manusia, dan membakarnya adalah setara dengan membunuhnya.” Dalam hal ini, buku tidak hanya sekadar fisik semata, tetapi merupakan rekaman pikiran, emosi, dan warisan budaya yang menghubungkan kita dengan identitas dan ingatan kita sebagai manusia, sebagaimana yang diungkapkan Fernando Baez dalam A Universal History of the Destruction of Books: From Ancient Sumer to Modern-day Iraq (2008). Menurut Baez, “tidak ada identitas tanpa ingatan.” Dengan menghancurkan buku, kita kehilangan pengingat akan siapa kita, dan akibatnya, kita kehilangan arah dalam memahami apa dan siapa kita sebenarnya.
Lebih jauh lagi, Richard Ovenden dalam Burning the Books: A History of the Deliberate Destruction of Knowledge (2020) mengutip kata-kata penyair Jerman Heinrich Heine yang mengatakan, “Bila mereka membakar buku, akhirnya mereka juga akan membakar manusia.” Pernyataan ini menggarisbawahi kenyataan tragis bahwa pembakaran buku sering menjadi pendahuluan untuk penindasan yang lebih kejam terhadap kemanusiaan.
Rebecca Knuth, dalam Libricide: The Regime-Sponsored Destruction of Books and Libraries in the Twentieth Century (2003), memperingatkan bahwa penghancuran buku dan perpustakaan oleh rezim-rezim otoriter tidak hanya merusak warisan intelektual, tetapi juga sering kali mengiringi tragedi kemanusiaan yang dahsyat. Ia mencatat dari sejarah bahwa penghancuran buku bisa menjadi awal dari tindakan-tindakan yang menindas, bahkan sebagai pendahuluan atas terjadinya genosida atau etnosida.
Tolak Pembungkaman
Oleh karena itu, pembakaran buku Catatan Najwa tidak sekadar menyerang individu Najwa Shihab sebagai penulisnya atau karyanya sendiri, tetapi juga menantang semangat kebebasan, keterbukaan intelektual, dan keberagaman gagasan yang menjadi pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi kini di Indonesia, sedang semarak diupayakan pemberdayaan masyarakat melalui literasi, seperti yang digiatkan oleh ribuan pegiat literasi yang membentuk taman-taman bacaan masyarakat di seantero Indonesia. Demikian pula Kemdikbudristek dan Perpustakaan Nasional yang meluncurkan berbagai inisiatif agar masyarakat Indonesia lebih dekat ke buku, sebagai bagian dari GLN (Gerakan Literasi Nasional) yang dimulai sejak tahun 2016. Artinya, agar masyarakat Indonesia secara umum diproyeksikan akan melek semangat kebebasan, keterbukaan intelektual, dan keberagaman gagasan.
Kami, Keluarga Besar Forum Taman Masyarakat, dengan tegas menyatakan bahwa tindakan pembakaran buku Catatan Najwa tidak dapat diterima di masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan pluralitas. Kami menolak segala bentuk pembungkaman gagasan yang dilakukan melalui pembakaran buku, dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menghormati keberagaman pikiran sebagai kekayaan bersama yang harus dilindungi dan diwariskan. Kami berdiri bersama mereka yang berkomitmen untuk menjaga kebebasan berpikir, mempromosikan pengetahuan, dan melawan tindakan barbar.
Satu hal yang tidak kalah penting adalah mari membiasakan berdialog secara terbuka dengan tidak membiarkan siapapun atau pihak mana pun menyebarkan gagasan keliru mengenai persepsi/anggapan yang lahir dari penghakiman sepihak, apalagi dari tindakan dan pernyataan yang belum diklarifikasi secara resmi. Di tengah bangsa yang sedang berproses menciptakan generasi yang cerdas, sudah selayaknya apabila pemerintah mampu menghentikan upaya-upaya picisan dalam mendiskreditkan karakter/pihak tertentu melalui media sosial. (sur)