Catatan Sepakbola Kualifikasi Piala Dunia 2026, Kalah Dari Jepang, Bukan ‘Kiamat’!

7 hours ago 2

Oleh : M. Nigara

BLAAAASSS. Ada amarah ada kecewa. Ada bergerombol perasaan tak menentu, berdesakan dalam dada, ketika menyaksikan Tim Nasional kita dihajar Jepang, 4-0.

Sungguh hasil yang sama sekali jauh dari harapan. Hasil yang membuat peluang Indonesia untuk lolos ke Piala Dunia 2026, semakin berat.

Tapi, jangan juga kita saling memaki. Saling menyudutkan dan saling menyalahkan. Kekalahan dari Jepang, Jumat malam (15/11/24) di hadapan 73 ribu penonton yang hadir langsung di Stadion Utama GBK, dan puluhan juta pasang mata yang menyaksikan lewat kaca RCTI, bukan akhir segalanya. Kelahan itu hendaknya bisa kita jadikan awal kebangkitan secara total.

PSSI, Pelatih Shin Tae-yong (STY), manajer, dan para pemain, harus bisa menerima kritik sepedas apa pun. Kritik yang berasal dari bahasa Yunani, Clitikos bermakna sebagai koreksi.

Kritik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna kecaman atau tanggapan berdasarkan fakta yang baik dan buruk.

Kritik berbeda dengan makian. Makian didasari, utamanya kebencian yang juga bisa dilandasi rasa iri atau dengki dan dibalut dengan kata-kata. Isinya adalah kata-kata kotor, kasar, dan dikeluarkan untuk melampiaskan kemarahan serta kekecewaan.

Perbedaan keduanya, sangat jelas: Kritik yang baik adalah koreksi dan selalu menampilkan jalan keluar. Sementara makian adalah bentuk umpatan dan penghakiman yang tidak membutuhkan jalan keluar.

Brasil Pernah

Kisah pilu tim nas Garuda kita, sesungguhnya masih belum separah Brasil. Bayangkan, negeri yang menjadi juara dunia terbanyak, 5 kali: 1958, 1962, 1970, 1994, dan 2002, pernah dibantai Jerman dalam semifinal Piala Dunia 2014, dengan skor 7-1.

Pembantaian itu terjadi di Stadion Mineiro, Bela Horizonte, Rio de Janairo (9/7/2014), di rumah dan di hadapan pendukung Brasil sendiri. Saat itu, saya bersama Bernard Pepe mantan pemain Persija menjadi komentatornya di ANTV. Laga juga disaksikan oleh Erick Thohir yang saat itu masih menjadi Dirut di Media Grup Bakrie, bersama Anin Bakrie yang kini menjadi Ketua Kadin, serta Reva Deddy Utama, Wapemred Antv/Tvone.

Tidak hanya itu, saat memperebutkan peringkat ketiga, Brasil jiga kalah telak dari Belanda, 3-0.

Kala itu, tak ada orang Brasil yang tak marah. Bahkan, tak sedikit orang non-Brasil yang ikut kecewa. Tapi, sepakbola Brasil tidak padam.

Gagal di Piala Dunia juga bukan yang pertama, namun kehidupan sepakbola di negeri Samba itu tetap terus berjalan, meski hingga hari ini Brasil belum bisa kembali menjadi juara dunia.

Kita, memang bukan Brasil. Dari segi apa pun, jauh dari Brasil. Untuk itu, Brasil saja tidak kiamat, mengapa kita harus menamatkan diri? Mengapa seolah-olah kekelahan yang memang menyakitkan itu harus menghapus seluruh mimpi? Menutup semua harapan?

Finishing

Seorang sahabat mengirimkan gambar dari (11/8/1968) saat tim nas kita membantai Jepang 7-0. Mas Gareng (Sutjioto Suntoro) membuat heatrick, Yakob Sihasale mencetak dua gol awal, kemudian Abdul Kadir, dan Surya Lesmana masing-masing mencetak satu gol.

Jauh sebelum itu, di Asian Games III, Tokyo, kita pun menang 4-3 atas Jepang. Tapi, jika ditotal secara keseluruhan, lebih banyak kita kalah. Tiga kekalahan terbesar kita; 0-6 (10/8/1968) Merdeka Games, 0-4 (31/5/1978) Piala Jepang, dan 0-5 di Kualifikasi Piala Dunia 1990, di Tokyo (11/6/1989).

Khusus laga ketiga ini, saya bersama beberapa sahabat, satu di antaranya Eddy Lahengko, meilput langsung ke Tokyo.

Sahabat lain melemparkan tanya dan selintas analisa: “Saya masih mikir, apakah pemain yang bagus-bagus saat main di Eropa, masih cocok dilatih oleh pelatih Asia?” tanyanyqa lewat WA.

“Pak MN (inisial saya saat masih di Kompas) yang sudah malang-melintang di persebakbolaan nasional, regional bahkan Internasional yang bisa menjawab itu!” tulisnya.

Jujur pertanyaan dan analisa yang tidak mudah untuk dijawab. Saya termasuk pengamat yang ingin STY dipertahankan. Sejak PSSI lahir, 19 April 1930, belum sekalipun kita bisa ikut Piala Asia di tiga level. Saat ini, tim nas U17, U20, dan Senior sudah lolos ke pesta sepakbola Asia itu.

Catatan: Tahun 1961, timnas yunior kita sempat meraih tiket juara bersama Burma (Myanmar, sekarang). Saat itu, kel9mpok umur hanya ada dua senior dan yumior.

Tapi, saat ini, saya mulai goyah. Namun tidak otomatis mengatakan STY _out_, tidak. Mempertahankan atau mengganti STY, mutlak hak PSSI. Saya sebagai wartawan hanya sebatas mbuat evaluasi. Jujur pula, ini sangat penting. Dan, harus didasari dengan perhitungan yang cermat. Bukan didasari dengan kebencian.

Suka atau tidak, STY dan tim, sudah menghasilkan sesuatu yang belum pernah dicapai oleh PSSI sebelum ini. Bahwa STY khususnya dan tim pada umumnya masih memiliki kekurangan, itu dasar dan basis evaluasi saya.

Pertama, hingga saat ini STY dan tim belum berhasil menemukan pemain yang memiliki naluri dan kemampuan mencetak gol. Kalau pun selama ini tim mampu mencetak gol, menurut hemat saya, sporadis saja. Rafael Struick dan Ragnar Oratmangoen, bukan pemain yang masuk dalam kategori itu.

Jadi, jila pemain yang seperti itu belum juga ditemukan, maka kesulitan demi kesulitan akan terus dihadapi.

Kedua, lebih dari 70 persen, awak tim nas kita berasal dari Eropa, khususnya warga keturunan yang lahir dan besar di negeri Kincir Angin. Pemain-pemain itu juga berkarya di negeri yang sempat menjajah kita.
Mereka semuanya di pilih oleh STY dan disetujui oleh PSSI.

Secara teori, pasti ada gap di sana. satu di antaranya kebudayaan dan kebiasaan yang jauh berbeda. Apalagi STY punya kendala bahasa. Artinya, banyak soalan yang disampaikan, terpaksa melewati jalan memutar. Dengan begitu, sangat sulit STY memberi motivasi khusus untuk para pemain.

Jadi, kita tak punya pilihan lain kecuali mencari dengan sungguh-sungguh bomber-bomber yang mampu membuat gol dan haus gol. Dulu kita punya Sutjipto Suntoro, Syamsul Arifin, Bambang Nurdiansyah, dan Ricky Yakob. Meski capaian tim nas kita hanya di situ, tidak mampu meraih gelar resmi di tingkat Asia, kelas keempatnya sebagai bomber, sungguh sangat tinggi.

Begitu juga soal komunikasi dan motivasi khusus pada para pemain, PSSI perlu memikirkan mencari pendamping STY dari Belanda.

Dua langkah itu in syaa Allah akanembuat tim nas kita sungguh-sungguh beda. Tanpa keduanya, saya mulai khawatir akan perjalanan tim kita ke Piapa Dunia 2026.

Sekali lagi, betul kita kalah telak 4-0 dari Jepang. Betul kita marah dan kecewa. Tapi, dunia belum ‘kiamat’. Harapan di laga, Selasa 19/11/2024 vs Arab Saudi masih tetap terbuka.

Tetap yakin dan tetap semangat!

(Penulis adalah wartawan sepakbola senior)

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan