Oleh ; M. Nigara
NAMANYA BARCE. “Ya, nama saya Barce Nazar, bang,” begitu kata anak muda yang terkesan sangat klimis itu menjawab pertanyaan Bang Sam Lantang, Ketua SIWO Jaya.
Saat itu sekitar 1985 atau 86, seorang anak muda dengan rambut gondrong yang sangat rapih, dengan baju kotak-kotak abu-abu lengan panjang, begitu berbeda dengan kawanan wartawan muda lainnya.
Sepanjang sejarah, berdasarkan kisah para senior dan pengetahuan selama 5-6 tahun meliput dan ‘mangkal’ di sekertariat PSSI, Vip Timur,
Stadion Gelora Bung Karno, tak ada seorang wartawan yang mengenakan ke.eha lengan panjang dan bajunya dimasukkan di celana hingga terlihat seperti karyawan bank.
Meski berasal dari Sumatera Barat, intonasinya pun terdengar santun. Tutur katanya berbeda dengan wartawan-wartawan kebanyakan. Sangat santun.
Begitu kesan saya dan kebanyakan kami melihat Barce di saat awal. Jujur, hingga saat ini tidak ada wartawan seperti mantan wartawan Prioritas dan Wawasan, semarang yang satu ini.
Dari banyak kisah yang timbul, ada dua yang sangat berkesan dan selalu tertinggal di benak saya. PON XII, 18–28 Oktober 1989, di Jakarta dan Piala Dunia 1994, Amerika.
Senin, 18 September 1989. Sore hari, Stadion Utama Gelora Senayan (sekarang kembali menjadi Gelora Bung Karno) sudah dipadati sekitar 100 ribu penonton. Maklum, hari itu Pekan Olahraga Nasional, akan dibuka oleh Presiden Soeharto.
Riuh rendah suara penonton bergema hingga keluar. Saat itu, saya dengan jari-jari kaki kanan terbalut karena bengkak, duduk di bangku beton yang ada di hadapan pintu masuk VIP Barat.
Tak lama, saya melihat Barce bergerak menuju ke pintu yang sudah dipenuhi Paspam Pres. Langkah Barce, sangat meyakinkan. Di lehernya tergantung id card PON.
Namun, tiba-tiba saja terdengar pekik sangat keras. “Kalau wartawan, memangnya mau apa?” teriak salah satu anggota Paspam Pres.
Langkah Barce terhenti. “Pergi kamu sekarang!” teriak anggota itu melanjutkan. “Kamu sudah capek dan kau semaunya saja!” bentak sang petugas.
Barce pun berbalik, dan berjalan menuju ke arah saya duduk. Lho, kenapa kok sampai begitu?
Ya, Barce yang awal telah berubah menjadi Barce yang lain. Petugas patut marah karena Barce, meski memiliki _id card_, tapi ia bersandal jepit, mengenakan celana jens pendek yang benang bawahnya terurai, lalu dengan.kaos tanpa lengan serta rambutnya yang panjang dibiatkan terurai begitu saja.
“Gila, ini kan stadion dan olahraga, kok mereka nuntut gue mesti sopan,” gerutu Barce.
Hehehe, Ce, Barce… Begitu celoteh teman-teman ketika kisah itu saya sampaikan ke mereka.
Ada lagi yang tak kalah menarik. Waktu itu Selasa 14 Juni 1994. Saya dan Barce mendarat di Airport Lax, Los Angeles untuk meliput Piala Dunia. Ya, ini PD kedua bagi saya dan Barce. Di Italia, 1990, kami juga memperoleh kepercayaan dari kantor masing-masing untuk meliputnya.
Pagi itu, suasana di gerbang imigrasi Lax, sangat padat. Saya dan Barce berbaris untuk menuju kepetuas imigrasi. “Next,” ujar petugas. Saya maju, tak sampai 10 menit sudah bisa keluar.
Tapi, Barce yamg ada tepat di belakangnsaya, tak kunjung usai diperiksa paspornya. Hampir 20 menit, akhirnya petugas kembali: “Next,”. Anehnya Barce tidak bergerak le arah luar, namun justru menyisih ke kiri sang petugas.
Jujur, saya bingung. Hampir satu jam sudah, dan sudah 4 sampai 5 orang selesai diperiksa dan dichop paspornya, tapi Barce tetap diam saja. Wah, kenapa sahabat yang satu ini.
Saya teringat kartu AIPS (Internatipnal Sports Perss Association). Saya pemegang kartu dengan nomoe INA0076/1. Artinya saya orang ke-76 tergabung di organisasi itu. Saya keluarkan kartu itu sambil berteriak (tidak terlalu keras): ” Ce, lu punya ini gak?” pekik saya setengah beryanya.
Barce mengangguk. Lalu ia mengeluarkan kartu itu, dan ketila sang petugad berteriak _Next_ lagi, Barce menyodorkan kartu itu. Tak ada lima menit, paspor Barce pun dichop.
“Kenapa Ce?” tanya saya didampingi Nanang Setiawan (Pikiran Rakyat) dan Ponti Carolus koresponden GO di Los Angeles).
“Dia tanya, kenapa visamu lima tahun? Gue jawab, ya elu tanya aja Kedubeslu di Jakarta. Eeeee dia marah,” kisah Barce.
Menurut Ponti, bukan jawaban Barce yang bikim petugas itu marah, tapi caranya dan gaya slengean (sok nyentrik) Barce yang buat ditersinggung.
Belum kering omongan Ponti, koper Barce diobrak-abrik petugas bea cukai Lax. Ya, begitu ketika ditanya bawa apa saja, Barce seenaknya nyeletuk bawa ganja. Memang di ngucapinnya pake bahasa Indonesia, dia pikir sang petugas tidak ngerti.
Meski akhir bisa lolos tanpa sangsi apapun, kisah Barce ini membuat perasaan saya dan teman-teman campur aduk.
Hari ini, saat tulisan ini saya buat dari hotel Mutiara di Riau, tempat diselenggarakannya HPN 2025, sahabat Barce Nazar sedang dalam proses penguburan. Ya, hari ini, Sabtu (8/2/25) sahabat saya Barce Nazar telah berpulang.
Tugasnya sebagai manusia telah sampai pada garis akhir. Selamat jalan sahabat, semoga Allah Sang Khalik mengampuni seluruh khilafmu, menerima iman islammu, dan menempatkanmu di tempat terbaik…
Allahumma firlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Artinya: Ya Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, berilah keselamatan kepadanya, dan ampunilah dosanya
Aamiin ya Rabb….
Selamat jalan sahabat….
(Penulis adalah wartawan senior olahraga)