Gedung Mahkamah Konstitusi. MK tegaskan larangan wakil menteri (wamen) yang merangkap jabatan melalui putusan yang dibacakan dalam sidang perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (28/8/2025).(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A) dilansir dari kompas.com
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan seorang guru asal Semarang, Sri Hartono, yang meminta agar usia pensiun guru disamakan dengan dosen. Putusan itu dibacakan dalam putusan Nomor 99/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (30/10/2025).
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa jabatan fungsional guru berbeda dengan dosen, terutama dari sisi kualifikasi pendidikan. Guru hanya mensyaratkan minimal Strata 1 (S1), sementara dosen harus memiliki minimal Strata 2 (S2). Perbedaan ini mempengaruhi usia mulai bekerja; guru umumnya bekerja lebih muda, sedangkan dosen memulai kariernya lebih tinggi setelah menyelesaikan pendidikan S2.
“Secara umum, dosen memulai masa kerja pada usia lebih tinggi. Oleh karena itu, tidak terdapat persoalan konstitusional terkait pembedaan batas usia pensiun antara guru dan dosen,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Dikutip dari kompas.com
MK juga menolak dalil pemohon yang menyatakan bahwa memperpanjang usia pensiun guru dapat menutupi kekurangan tenaga pendidik di Indonesia. Mahkamah menilai kebutuhan guru sebaiknya diatasi melalui kebijakan rekrutmen dan pengelolaan pensiun agar kesinambungan pendidikan tetap terjaga.
Meski menolak permohonan, MK meminta pemerintah untuk melakukan kajian komprehensif terhadap guru yang berusia di atas 60 tahun, khususnya yang berada pada jenjang ahli utama, terkait kemampuan fisik, kesehatan, dan kompetensi. Kajian ini bertujuan untuk menilai kemungkinan memperpanjang usia pensiun guru hingga 65 tahun sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas sistem pendidikan nasional.


















































